Lingkup.id, Tasikmalaya – Ajak warga Tasikmalaya memilah tontonan Lembaga Sensor Film melakukan sosialisasi Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri kepada masyarakat dengan nonton bareng Jumbo di XXI Plaza Asia Tasikmalaya, Sabtu 12 Juli 2025.
“Melalui tema Memajukan Budaya, Menonton Sesuai Usia. Gerakan ini menjadi program dari LSF untuk mengajak masyarakat bijak memilih tontonan sesuai usia pada media tv, iklan, dan film,” demikian kata Wakil Ketua Lembaga Sensor Republik Indonesia, Noorca M Massardi saat memberikan keterangan.
Ia menyebut, ajakan untuk memilih tontonan sesuai usia ini dilakukan dengan menggandeng mahasiswa, jurnalis, perbankan dan sejumlah komunitas di Tasikmalaya.
“Diharapkan nonton bareng ini, gunanya untuk apa, agar mereka bisa mensosialisasikan ke lingkungan sekitarnya. Seperti mahasiswa ke rekan atau teman-teman dan keluarga terdekatnya.” katanya.
Selain melalui sosialisasi secara offline, LSF juga melakukan pendekatan kepada generasi milenial secara daring. Ini diharapkan dapat menambah kesadaran masyarakat dalam memilih tontonan dengan memperhatikan kategori penggolongan tayangan film sesuai dengan usia.
Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, terdapat empat kategori penggolongan tayangan, yakni Semua Umur (SU), 13+, 17+, dan 21+.
“Ini soal kesadaran. Kalau kesadaran tentang memilih dan memilih tontonan, cara menonton film yang baik dan benar seperti apa, gak ada kesadarannya, maka gak akan sampai. Tantangannya di situ.” katanya
Ia menegaskan pentingnya setiap film yang ditayangkan secara publik memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS). “Bukan hanya formalitas, melainkan bentuk perlindungan negara untuk memastikan konten yang ditayangkan telah melewati proses klasifikasi dan aman ditonton sesuai usia penonton,” katanya.
“LSF tidak hanya berfungsi sebagai lembaga penyensor, tetapi juga sebagai fasilitator literasi hukum dan budaya tontonan,” sambung dia.
Lanjut dia, LSF secara aktif mensosialisasikan sensor mandiri kepada para sineas, pelajar, dan mahasiswa, termasuk melalui pemahaman terhadap berbagai regulasi terkait produksi film, seperti UU Pornografi, UU Narkotika, UU Lalu Lintas, hingga UU HAM.
“kebebasan berekspresi tetap harus berada dalam bingkai hukum. Film harus mampu menghibur, mendidik, dan sesuai norma sosial yang berlaku,” katanya.
Untuk itu, LSF telah melakukan inovasi dalam pelayanan publik dengan mempercepat proses pengajuan STLS secara daring, yang kini dapat diselesaikan maksimal dalam tiga hari.
“Selain sebagai dasar legalitas, STLS juga berfungsi sebagai bentuk perlindungan terhadap hak cipta dan potensi pembajakan. Noorca juga menegaskan bahwa LSF siap mendampingi pembuat film secara hukum jika ada keberatan terhadap isi film,” pungkasnya.
Di kesempatan yang sama Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah mengapresiasinya terhadap film Jumbo. Ia menyoroti bahwa film keluarga karya sineas lokal ini telah sukses menarik lebih dari 10 juta penonton.
“Ini membuktikan bahwa karya anak bangsa mampu menghasilkan tontonan berkualitas, inspiratif, dan membanggakan,” katanya.
Ia mengungkapkan, nontin bareng film animasi karya anak bangsa ini lebih dari sekadar pemutaran film. Momen ini berfungsi sebagai platform edukasi publik mengenai klasifikasi usia film dan pentingnya peran masyarakat dalam menyaring tontonan secara mandiri.
“Sensor mandiri bukan lagi semata tugas LSF, melainkan tanggung jawab kolektif, terutama bagi para sineas yang harus memahami panduan klasifikasi sejak proses kreatif berlangsung,” katanya.
Tantangan besar di era digital, lanjut dia, akses terhadap berbagai tontonan sangat terbuka, bahkan untuk anak-anak. Oleh karena itu, perlunya kerja sama untuk memastikan tayangan yang dikonsumsi anak-anak sesuai dengan usia dan kondisi mereka.
“Masyarakat di daerah juga membutuhkan akses terhadap literasi tontonan yang sehat,” katanya.