Lingkup.id Jawa Barat Subang Tanpa Dukungan Pemerintah, Festival Galuh Pakuan Cup Skala Nasional Tetap Eksis Berjalan
Jawa Barat Nasional & Internasional Subang

Tanpa Dukungan Pemerintah, Festival Galuh Pakuan Cup Skala Nasional Tetap Eksis Berjalan

Banner Iklan 1400 x 181

Lingkup.id, Subang — Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Dr. Hj. Tati Narawati, M.Hum, menyoroti penyelenggaraan Festival Galuh Pakuan Cup Seri IX di Kabupaten Subang, Jabar, sebagai isu “seksi” dalam tata kelola kebudayaan nasional.

Prof. Tati, menyatakan, skala, kualitas, dan dampak Festival Galuh Pakuan Cup sejatinya telah melampaui standar kegiatan kebudayaan daerah. Dengan ribuan peserta dari berbagai provinsi, dewan juri lintas kampus, serta penyelenggaraan yang terstruktur, kegiatan ini seharusnya berada di bawah payung kebijakan tingkat kementerian, bukan semata diselenggarakan oleh masyarakat adat secara mandiri.

“Ini festival besar, nasional, bahkan melibatkan akademisi lintas universitas yang bergelar profesor dan doktor. Secara logika kebijakan, seharusnya kegiatan sebesar ini berada pada level kementerian,” ujar Prof. Tati.

Ditambahkan Prof. Tati, festival yang digelar oleh Lembaga Adat Karaton Galuh Pakuan itu, menjadi bukti bahwa inisiatif kebudayaan akar rumput mampu bekerja melampaui ekspektasi negara, baik dari segi manajemen, partisipasi, maupun mutu akademik.

Prof. Tati juga menilai Festival Galuh Pakuan Cup justru memperlihatkan paradoks kebudayaan Indonesia. Di satu sisi, negara kerap menggaungkan pentingnya pemajuan kebudayaan. Namun di sisi lain, ketika masyarakat adat mampu menghadirkan praktik nyata pemajuan budaya secara mandiri, kehadiran negara justru tidak sebanding dengan skala kegiatannya.

“Yang menarik, festival sebesar ini justru bisa dilaksanakan secara mandiri oleh lembaga adat. Ini luar biasa, tapi sekaligus menyisakan pertanyaan: di mana negara?” katanya.

Sorotan paling tajam disampaikan Prof. Tati terkait perubahan otoritas penandatangan sertifikat festival. Ia mengungkapkan bahwa pada penyelenggaraan sebelumnya, sertifikat Festival Galuh Pakuan Cup ditandatangani langsung oleh Menteri Kebudayaan. Namun pada edisi terbaru, sertifikat hanya ditandatangani oleh Direktur BKMA.

Bagi Prof. Tati, perubahan ini bukan sekadar administratif, melainkan menyangkut pengakuan simbolik dan akademik terhadap sebuah perhelatan budaya nasional.

“Jelas ini berdampak. Peserta dan juri yang terlibat bukan orang sembarangan. Mereka akademisi dari berbagai universitas di Indonesia, banyak yang bergelar guru besar dan doktor. Pengakuan negara itu penting,” tegasnya.

Menurutnya, sertifikat bukan hanya dokumen formal, tetapi penanda legitimasi negara terhadap kerja-kerja kebudayaan yang melibatkan dunia akademik.

Festival Galuh Pakuan Cup Seri IX melibatkan dewan juri dan tim kurator yang berasal dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Keterlibatan para akademisi ini, menurut Prof. Tati, menunjukkan bahwa festival tersebut telah menjadi ruang akademik sekaligus ruang budaya, bukan sekadar ajang pertunjukan seni.

Namun, pengakuan yang “turun kelas” dari sisi negara dinilai berpotensi menimbulkan kesenjangan antara kualitas kegiatan dan legitimasi kebijakan.

“Kalau kualitasnya nasional, pengakuannya juga harus nasional. Jangan sampai masyarakat dan akademisi bekerja di level tinggi, tetapi negara hadir di level yang lebih rendah,” ujarnya.

Meski demikian, Prof. Tati menegaskan bahwa kritik ini tidak dimaksudkan untuk meremehkan lembaga teknis yang terlibat, melainkan sebagai refleksi kebijakan kebudayaan nasional agar lebih konsisten dan berkeadilan terhadap inisiatif masyarakat.

Ia menilai Festival Galuh Pakuan Cup seharusnya dijadikan model kolaborasi ideal antara negara, akademisi, dan masyarakat adat.

“Negara tidak boleh hanya hadir dalam slogan. Kegiatan seperti ini harus dilihat sebagai aset nasional,” katanya.

Di tengah minimnya dukungan struktural negara, Festival Galuh Pakuan Cup Seri IX justru tampil sebagai cermin kekuatan masyarakat adat dan komunitas budaya. Dengan ribuan peserta, dampak ekonomi daerah, serta legitimasi akademik, festival ini membuktikan bahwa pemajuan kebudayaan bisa berjalan bahkan tanpa kehadiran negara secara penuh.

Namun, sebagaimana disampaikan Prof. Tati Narawati, kondisi ini sekaligus menjadi peringatan halus: ketika masyarakat sudah berlari jauh, negara tidak boleh terus berjalan di belakang. (H)

Exit mobile version