Lingkup.id, Bandung – Pemerintah pusat telah melakukan kebijakan efisiensi anggaran dan mengurangi perjalanan dinas, sesuai Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 2025. Sangat berdampak besar terhadap sektor perhotelan di Kota Bandung.
Pengusaha hotel mengatakan kehilangan pendapatan hingga miliaran rupiah, akibat adanya pembatalan kegiatan seperti rapat dan acara pemerintahan lainnya yang biasa digelar di hotel.
Efisiensi anggaran belanja tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja, dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
Target efisiensi anggaran tersebut mencapai Rp 306,69 triliun dari anggaran belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 50,59 triliun. Hasil penghematan tersebut bakal digunakan untuk membiayai program-program prioritas pemerintah, seperti Makan Bergizi Gratis
Ketua Perhimpunan Perhotelan dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat Dodi Ahmad Sofiandi mengatakan, adanya Inpres soal efisiensi anggaran. Pengusahan hotel di Kota Bandung bulan Februari 2025 merugi akibat pembatalan hingga Rp. 12.8 Miliar.
“Dampak dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi sangat memukul industri perhotelan di Jawa Barat, khususnya di Bandung. Pangsa pasar Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) dari pemerintah bagi hotel berbintang tiga, empat, dan lima mencapai 40% hingga 50%,” ujar Dodi Ahmad saat ditemui di Kota Bandung. Jumat (14/02/2025).
Akibat pemotongan anggaran tersebut, tingkat okupansi hotel di Jawa Barat turun drastis, dengan rata-rata hanya mencapai 35% hingga 40%.
“Khusus di Kota Bandung, pada Februari ini saja, industri perhotelan mengalami kehilangan potensi bisnis sebesar Rp12,8 miliar akibat pembatalan acara dari kementerian yang sebelumnya direncanakan berlangsung di Bandung,”ungkapnya.
Dodi menjelaskan, Jika kondisi ini terus berlanjut hingga setelah Lebaran. dampaknya bisa sangat berat bagi industri perhotelan.
“Langkah paling pahit yang mungkin harus diambil adalah pemangkasan jumlah karyawan hingga 50%. Selain itu, pemangkasan juga akan terjadi di berbagai sektor pendukung hotel, seperti penyedia makanan dan minuman (F&B), housekeeping, serta vendor lainnya yang menyuplai kebutuhan hotel,”tuturnya.
Situasi ini menciptakan efek domino yang cukup luas. Jika hotel mengalami penurunan pesanan secara drastis, vendor yang memasok barang ke hotel juga akan mengalami penurunan permintaan, yang berarti mereka pun kemungkinan besar harus melakukan pengurangan tenaga kerja.
Jika kondisi ini tetap berlangsung setelah Lebaran, maka industri perhotelan akan menghadapi tantangan besar. Para pemilik hotel saat ini masih bisa bertahan dengan tabungan yang mereka miliki. Namun, hotel membutuhkan tingkat okupansi minimal 50% hingga 55% agar bisa mencapai titik impas (break-even point).
“Saat ini, pendapatan hanya berkisar di angka 30%, yang berarti ada defisit sekitar 26%. Dengan defisit ini, daya tahan hotel rata-rata hanya bisa bertahan sekitar empat bulan,”jelasnya.
PHRI Jawa Barat menghimbau pemerintah, untuk meninjau ulang kebijakan ini demi keberlangsungan industri perhotelan dan sektor ekonomi yang terkait dengannya.